Tuesday, November 26, 2013

SEKOLAH BERBASIS RISET

PENGEMBANGAN SEKOLAH BERBASIS RISET 
Murni Ramli
A. PENDAHULUAN
Perkembangan pendidikan di Indonesia jika dibandingkan dari masa pasca kemerdekaan, telah menunjukkan kemajuan yang sedemikian pesat. Dengan tolok ukur kuantitatif, pendidikan Indonesia telah mendongkrak penambahan jumlah sekolah, terbukanya akses bersekolah, meningkatnya angka partisipasi belajar di semua jenjang pendididikan. Namun, dari segi kualitatif, kita belum dapat membanggakan prestasi pendidikan di tanah air jika dibandingkan dengan kondisi pendidikan di negara-negara yang berumur sama (merdeka pada tahun yang hampir sama). Kualitas pendidikan kita masih jauh dibandingkan dengan Singapura, Malaysia, apalagi  dengan negara-negara maju yang tergabung dalam OECD. 
Untuk berkelit dari kondisi tersebut, banyak orang yang sering menjadikan penjajahan sebagai kambing hitam kondisi yang kita alami sekarang. Penjajahan yang telah kita alami selama hampir 3,5 abad memang dapat dianggap sebagai penyebab keterbelakangan pendidikan kita, tetapi, pada kenyataannya banyak negara yang juga terjajah pada era PD II mampu bangkit dan menunjukkan prestasi pendidikan yang signifikan.

Apakah kualitas otak siswa-siswa Indonesia lebih rendah dibandingkan dengan kualitas siswa negara OECD? Tidak juga, karena banyak siswa yang sudah menunjukkan kemampuannya untuk bersaing di level internasional. Namun demikian, keberadaan siswa-siswa unggul tersebut bukanlah jaminan bahwa kualitas pendidikan Indonesia secara massal sudah baik. Hasil uji kemampuan membaca, mengatasi masalah secara matematis dan berdasarkan pemahaman sains siswa-siswa SMP kita berada pada posisi 57 untuk kemampuan memahami bacaan, ke-61 untuk matematika, dan 60 untuk kemampuan sains (dari 65 negara peserta) dalam seleksi PISA yang diselenggarakan oleh OECD pada tahun 2009. Kita berada di bawah Thailand, apalagi Singapura yang berada pada posisi lima besar.
Hasil PISA selayaknya menjadi acuan bagi pemerintah untuk merumuskan metode peningkatan tiga kemampuan dasar siswa yang diakui secara universal, yaitu kemampuan memahami bacaan, kemampuan memahami persoalan matematis, dan memecahkan masalah-masalah sains. PISA dapat dianggap sebagai sebuah riset besar yang hasilnya dapat menjadi acuan negara untuk memperbaharui kebijakan pendidikannya. Di Amerika, hasil uji PISA dianalisa oleh sekelompok pakar agar dapat dipetakan kemampuan dasar siswa-siswa Amerika, dan bagaimana solusi meningkatkan kemampuan mereka.
Lalu, bagaimana sekolah-sekolah kita menyikapi hasil uji PISA? Tampaknya belum ada sekolah yang memanfaatkannya sebagai bahan untuk menyusun rencana pengembangan sekolah. Barangkali karena tidak banyak sekolah yang muridnya terpilih sebagai peserta yang dites, atau juga sikap menunggu kebijakan pemerintah. Seharusnya sekolah-sekolah dapat mengembangkan model uji kompetensi siswa yang sama dengan model uji PISA untuk memetakan kemampuan dasar siswa.
Tidak hanya itu, keberhasilan pendidikan di beberapa negara maju, seperti Jepang, dapat terjadi karena kebijakan pendidikan berdasarkan pada hasil riset, demikian pula kebijakan di sekolah dikembangkan dari hasil riset, baik oleh pihak sekolah, maupun yang diselenggarakan oleh pihak universitas. Pola kerjasama sekolah dan perguruan tinggi sudah menjadi model yang biasa di beberapa negara maju. Di Jepang, bahkan, guru-guru yang tergabung dalam Teacher Union Jepang (Nikkyousou) berhasil menjadi salah satu komponen yang memacu pengembangan sekolah-sekolah berbasis riset di Jepang. Sekalipun dalam pelaksanaannya, program Sekolah Berbasis Riset di Jepang bukan merupakan kebijakan yang bersifat nasional, banyak sekolah yang tergerak menerapkannya.
Setiap sekolah wajib memiliki Rencana Pengembangan Sekolah (RPS) yang disusun berdasarkan potensi sekolah, visi dan misi sekolah, dan diselaraskan dengan kebijakan pemerintah daerah dan pusat. RPS harus disusun dengan melibatkan semua komponen sekolah dan stakeholder (komite sekolah). Sayangnya banyak RPS yang disusun ala kadarnya dan kurang menyentuh pada permasalahan mendasar yang dihadapi sekolah. Akibatnya proses pendidikan di sekolah berlangsung seperti ritual rutin yang tidak berbeda dari tahun ke tahun. Sekolah di tanah air masih membatasi ukuran keberhasilan dari jumlah siswa yang lolos Ujian Nasional, dan atau prestasi akademik dan non akademik melalui kejuaraan yang pernah diraih siswa. Namun, kurang menyentuh pada problema yang dihadapi siswa dalam kegiatan belajar mengajarnya, permasalahan dan kesulitan yang dihadapi guru sebagai pelaksana pengajaran, dan kurang mampu menyediakan pendidikan yang mengakomodir disparitas kemampuan dan minat belajar siswa.
Makalah ini bertujuan untuk mengangkat wacana Sekolah Berbasis Riset (SBR) sebagai salah satu model pengembangan sekolah, dan kemungkinan pola pengembangannya di tanah air, dampak dan manfaat yang akan diperoleh dengan penerapan SBR.
B. MODEL PENGEMBANGAN SEKOLAH
Teori dan konsep tentang pengembangan sekolah menjadi salah satu aspek yang dipelajari dalam bidang Manajemen Pendidikan. Pada dasarnya pengembangan sekolah dapat didefinisikan secara sederhana sebagai perubahan kondisi fisik dan non fisik sekolah dari kondisi yang kurang baik menjadi lebih baik. Perubahan dapat dilihat dari sisi kuantitatif dan kualitatif. Pengembangan sekolah dari segi kuantitatif misalnya, dapat dilihat dengan pertambahan luas, kapasitas/daya tampung, jumlah siswa dan guru, fasilitas sekolah, dll. Sementara pengembangan dari segi kualitatif dapat diarahkan pada semakin kokohnya karakter siswa, siswa semakin termotivasi untuk belajar yang dapat dilihat dengan meningkatnya (bukan stagnan atau menurun) prestasi akademik siswa, semakin besar rasa ingin tahu siswa yang dibuktikan dengan luasnya wawasan siswa dalam menyampaikan pendapatnya, semakin bertambahnya semangat, etos kerja dan komitmen guru, semakin besarnya rasa memiliki sekolah, di kalangan siswa dan guru, dll.
Namun, perlu diingat bahwa pelaku pengembangan sekolah tidak boleh terpaku pada teori dan konsep yang ada, sebab teori selalu diiringi dengan keunggulan dan kelemahan. Tidak ada teori pengembangan sekolah yang bersifat mutlak dan berlaku umum dalam arti dapat diterapkan di semua kondisi dan jenis sekolah. Oleh karena itu, pengembangan sekolah akan lebih baik apabila lahir dan berkembang dari sebuah kesadaran tentang adanya kondisi/situasi/status yang harus diperbaiki.
B.1. Pengembangan Sekolah Berdasarkan Sudut Pandang Ekonomi
Sekolah sesuai dengan fungsi asalnya adalah lembaga untuk mendidik dan mentrasfer ilmu, budaya, seni dan teknologi, serta mewariskan nilai-nilai moral dan kearifan kepada peserta didik melalui proses belajar mengajar dan pembimbingan di lingkungan sekolah. Oleh karena itu, tidak sempurna jika sekolah hanya dijadikan sebagai tempat mengajarkan ilmu, kurang lengkap apabila sekolah dijadikan sekedar sebagai tempat untuk berinteraksinya guru dan murid. Dan juga kurang tepat apabila sekolah hanya dijadikan sebagai alat negara untuk memproduksi tenaga kerja.
Dengan fungsinya sebagai lembaga transfer ilmu/seni dan pewarisan nilai, sekolah perlu senantiasa dikembangkan dengan memperhatikan aspek kebendaan, manusia, dan lingkungan yang menyusunnya. Aspek kebendaan meliputi sarana/fasilitas sekolah dan kondisi keuangan sekolah; aspek manusia meliputi kemampuan guru dan pengelola sekolah, input siswa, dan kondisi/kemampuan orang tua dan masyarakat; aspek lingkungan meliputi kondisi daerah, karakter lokal, dan kebutuhan masyarakat.
Lalu seperti apakah kondisi sekolah di tanah air, bagaimana pemerintah memfungsikan sekolah dan berdasarkan fungsi tersebut, bagaimana konsep pengembangannya?  Sekolah di Indonesia masih dianggap sebagai satu-satunya lembaga formal yang berfungsi untuk mempersiapkan manusia Indonesia yang akan mengisi lapangan pekerjaan. Karena sistem persekolahan kita masih dikaitkan erat dengan kebutuhan ekonomi, maka kriteria kompetensi lulusan sekolah selalu menggunakan indikator yang lazim dipergunakan dalam dunia ekonomi. Sebagai contoh, IPK (di perguruan tinggi) atau nilai UN (SMA) menjadi persyaratan kualifikasi kerja dalam proses seleksi pencari kerja. Oleh karena itu, sistem belajar mengajar di sekolah lebih mengedepankan prestasi, dan peserta didik cenderung belajar hanya untuk mengejar IPK dan nilai UN yang tinggi. Lalu, proses yang terjadi sebenarnya adalah siswa serius belajar dan rajin mengerjakan PR dan tugas-tugasnya, bukan dengan tujuan untuk memahami sebuah ilmu karena disadarinya ilmu itu penting, melainkan karena ingin mendapatkan IPK/nilai ujian yang tinggi.  Pandangan awam adalah IPK tinggi linier dengan status pekerjaan yang tinggi atau kemapanan ekonomi.
Upaya untuk meningkatkan kualitas pengajaran di sekolah telah pula dilakukan dari sisi yang paling krusial, yaitu kualitas guru. Melalui program sertifikasi guru, pemerintah bermaksud memperbaiki mutu pengajaran di Indonesia. Namun, tampaknya program ini telah salah kaprah diterjemahkan. Aktifitas guru untuk mengikuti kegiatan seminar, menyelenggarakan penelitian tindakan kelas, menulis karya ilmiah bukan dengan alasan pengembangan keahlian bidang ilmu si guru, tetapi dengan alasan agar dapat memperoleh sertifikat guru, yang identik dengan peningkatan pendapatan guru.
Dengan demikian, uang atau dapat dikatakan alasan ekonomi, telah menjadi alasan utama siswa menempuh pendidikan di sekolah. Demikian pula, alasan ekonomi telah menjadi salah satu penyebab guru mengembangkan kinerja dan profesionalismenya melalui jalur sertifikasi guru. Pengembangan sekolah di tanah air juga telah terjebak dalam pemahaman yang menempatkan sekolah sebagai lembaga ekonomi, dan bukan murni sebagai lembaga pendidikan. Sekolah yang mampu meluluskan siswa dengan UN tinggi, dan nilai kelulusan seratus persen, dianggap oleh awam sebagai sekolah kualitas nomor satu atau sekolah yang dengan posisi tawar yang tinggi. Dengan kedudukan tersebut, sekolah dapat “menjual” dirinya kepada masyarakat dengan harga yang ditetapkan berdasarkan otonomi sekolah dan bukan kesepakatan pasar. Sekolah dengan harga jual tinggi juga bebas menentukan kriteria siswa yang layak mereka tampung, melalui seleksi masuk berdasarkan nilai UN. Berdasarkan parameter prestasi di UN, sekolah kemudian secara “alami” mengelompok menjadi sekolah dengan harga dan posisi tawar tinggi, menengah, dan rendah. Karena keuntungan ekonomi yang diperoleh sekolah dengan harga jual tinggi lebih besar, maka tanpa disadari, sekolah-sekolah di Indonesia telah dikembangkan dengan tujuan berlomba untuk menjadi sekolah dengan posisi tawar tinggi.
B.2. Pengembangan Sekolah Berdasarkan Kebijakan Top Down
Pengembangan sekolah berdasarkan birokrasi atau kebijakan top down adalah model yang paling lazim diterapkan. Banyak contoh yang bisa kita angkat, di antaranya adalah kebijakan tentang sekolah berbasis manajemen, komite sekolah, pengembangan sekolah bertaraf internasional, standar ISO dalam manajemen sekolah, ujian nasional, dll.
Pengembangan sekolah berdasarkan pola ini memiliki keuntungan dan kekurangan. Keuntungannya adalah pertama, lahirnya keseragaman model persekolahan dalam sebuah negara, yang memudahkan pengontrolan dan evaluasi; kedua, kemudahan dalam penerapannya, karena juklak dan model telah dibuatkan oleh pusat. Adapun kelemahannya adalah, pertama, kondisi sekolah yang berbeda-beda dan tidak semuanya cocok dengan sebuah kebijakan; kedua, pengontrolan ketat dari pemerintah, menyebabkan pengelola sekolah kurang kreatif karena hanya menjalankan apa yang sudah ditetapkan; ketiga, penerapan sebuah kebijakan tidak menjadi solusi permasalahan di sekolah bersangkutan.
Sebagai contoh adalah kebijakan tentang komite sekolah. Konsep Sekolah Berbasis Manajemen (SBM) yang diperkenalkan di Indonesia pada tahun 2001 atau bersamaan dengan diterapkannya sistem desentralisasi/otonomi daerah, melahirkan konsep Komite Sekolah sebagai pengganti BP3. Jika dalam versi BP3, peran orangtua siswa sebagai stakeholder sekolah hanya satu yang ditonjolkan, yaitu sebagai sponsor pendidikan, maka model komite sekolah memberikan peran dan “kuasa” yang lebih besar kepada orangtua dan sekaligus membuka keikutsertaan tokoh masyarakat dalam pengambilan keputusan di sekolah. Dengan partisipasi tokoh masyarakat dalam komite sekolah, diharapkan akan lahir kecintaan dan rasa memiliki masyarakat terhadap sekolah-sekolah yang ada di lingkungannya. Apabila hal ini dapat tercipta, maka sekolah akan berada di bawah pantauan, pemeliharaan dan penjagaan warga setempat. Akan tetapi, konsep komite sekolah yang berkembang dewasa ini kurang mampu melahirkan rasa kepemilikan tsb, dan kembali ke pola lama yang menempatkan wali murid hanya sebagai sumber pendanaan sekolah. Rasa memiliki hanya sebatas di kalangan wali murid yang terwakilkan dalam komite sekolah, dan apabila muncul kebobrokan sebuah sekolah di dalam suatu komunitas,  kondisi itu belum menjadi kepedulian anggota komunitas tsb.
Dalam penelitian yang pernah penulis lakukan di tahun 2007, ada beberapa sekolah yang membuat komite sekolah dengan tujuan agar dapat mencairkan dana BOS. Setelah dana itu diperoleh, maka peran komite sekolah tidak ada lagi. Pada kasus tersebut, kebijakan komite sekolah dilaksanakan tanpa kesadaran dari pihak sekolah tentang apa fungsi dan maksud di balik penetapan kebijakan tersebut. Yang patut dipertegas adalah bahwa esensi dari kebijakan komite sekolah adalah partisipasi dan keterlibatan orangtua dan masyarakat dalam pengembangan sekolah. Oleh karena itu, “bentuk” partisipasi tidaklah mutlak, namun “keberadaan” partisipasi adalah mutlak. Ada beberapa sekolah, dengan alasan tertentu, tidak dapat menyelenggarakan komite sekolah, namun tidak berarti bahwa sekolah tersebut sepi dari partisipasi masyarakat.
Kebijakan tentang Ujian Nasional (UN) juga merupakan salah satu kebijakan pusat yang mampu menggamangkan pemahaman guru tentang konsep mendidik yang ideal. Mendidik bertujuan untuk memberikan pemahaman yang optimal, dalam pengertian mampu mengantarkan siswa tidak sebatas pada level “mengerti”, tetapi pada level “sanggup/bisa/dapat” menerapkan ilmu yang diperolehnya dalam kasus-kasus yang dihadapinya. Sebagai contoh, dalam pelajaran matematika, siswa SMA sudah diperkenalkan dengan konsep integral. Setelah belajar selama 2-3 kali pertemuan, siswa barangkali dapat sampai pada level “mengerti”, yang dibuktikan dengan kemampuannya mengerjakan soal-soal latihan. Namun, untuk memutuskan apakah siswa sampai pada level “bisa/sanggup/dapat”, maka mereka harus mampu menyelesaikan kasus-kasus sehari-hari yang memerlukan penguasaan integral untuk memecahkannya. Apabila ilmu yang diajarkan kepada siswa baru sampai pada tahap untuk menyelesaikan soal-soal ujian, maka proses mendidik yang diterapkan belumlah tuntas.
Kebijakan ujian nasional tidak seharusnya mengabaikan fungsi dan tujuan mendidik yang ideal. Namun, dari diskusi dengan beberapa guru dan kepala sekolah, ujian nasional terbukti telah menjadi penghalang mereka untuk mendidik secara ideal. Pendidikan di sekolah dilaksanakan dengan satu tujuan, yaitu agar siswa lolos dalam ujian nasional. Yang secara sadar atau tidak, telah menyebabkan guru mengesampingkan tujuan mendidik yang ideal dan cenderung mengajari siswa trik-trik menyelesaikan soal-soal ujian nasional saja. Akhirnya guru gagal mengantarkan siswanya untuk mencintai ilmu dan memahami ilmu sebagai alat bantu dan penunjang hidup mereka.
Kasus lain terkait dengan UN bahwa beberapa sekolah di pelosok tanah air yang secara nyata hanya mampu memberikan pelayanan pendidikan ala kadarnya, juga diwajibkan mengikuti UN yang notabene disusun berdasarkan standar pendidikan di sekolah-sekolah yang sudah mapan di perkotaan. Secara logika, sekolah-sekolah di pedalaman, di tengah hutan, di kepulauan terpencil, tentunya akan kesulitan meloloskan siswanya dalam UN. Namun, karena UN telah menjadi barang dan isu politik, maka jangan heran jika kelulusan di sekolah-sekolah tersebut di atas, mencapai seratus persen. Artinya, sebuah kebohongan publik yang “pura-pura” tidak diketahui telah terpaksa dilakukan.
Untuk meluluskan sebanyak-banyaknya siswa dalam seleksi ujian nasional, sekolah-sekolah menempuh dan mengembangkan pola belajar ala UN, yaitu misalnya mempercepat masa belajar mapel non UN untuk kelas tiga, dan memanfaatkan tiga bulan di semester akhir untuk memaksa siswa menseriusi soal-soal UN. Alhasil, guru-guru non UN menganggur, karena jam pelajaran mereka dipakai untuk melatih siswa memahami soal-soal UN. Bukankah dengan demikian, UN telah memporak-porandakan kinerja dan idealisme guru?
Dalam RPS, banyak sekolah yang menuliskan tentang keberhasilan UN sebagai target yang harus diraih. Atau dengan kata lain, berdasarkan kebijakan ini, sekolah menyelenggarakan pengembangan sekolah yang berbasis UN. Agar tidak terlampau jauh mendorong “kebohongan-kebohongan publik”, maka barangkali kita dapat meniru sistem UN yang berlangsung di Jepang. UN di Jepang diterapkan sebagai sebuah survey. Pemerintah membiayai penyelenggaraan UN di 30% sekolah, dan sisanya diberi keleluasaan apakah ingin ikut serta atau tidak. Data tahun 2010, menunjukkan partisipasi sekolah negeri (SD) dalam UN sebesar 80%, dan sekolah swasta 24%. Hingga tahun 2010, ada satu kota di Aichi, yaitu Kota Inuyama yang memutuskan untuk tidak mengikuti UN, dengan pertimbangan ingin mempertahankan pola belajar mengajar  yang berorientasi pada pemahaman hingga level “bisa/sanggup” yang selama ini mereka pegang. Tahun 2011, beberapa sekolah di Inuyama diikutsertakan dalam UN, dan ternyata mereka mampu. Sebenarnya tidak ada kendala bagi pemerintah Jepang untuk menerapkan UN secara nasional, karena semua sekolah di Jepang telah terstandardisasi. Sistem UN di Jepang yang diterapkan pertama kali pada tahun 1956, telah memunculkan polemik yang tidak berkesudahan, dan beberapa kali dihentikan. Penentangan yang keras umumnya dari Teacher Union. TU berusaha mempertahankan pola mendidik ideal yang selama ini diterapkan di Jepang. Hingga akhirnya UN berdasarkan hasil riset tentang UN yang diterapkan oleh Kementrian Pendidikan Jepang, akhirnya pola UN berlangsung seperti sekarang ini, yaitu sebagai kebijakan survey pemetaan kemampuan siswa-siswa SD, SMP, dan SMA di Jepang. Sekolah yang tidak termasuk bagian dari yang disurvey, diberi kebebasan untuk mengikuti atau tidak mengikutinya.
Dari contoh kasus di Jepang di atas, pengembangan sekolah dengan pola top down dapat berimplikasi positif apabila kebijakan juga secara tepat diformulasikan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.
C. PENGEMBANGAN SEKOLAH BERBASIS RISET
C.1. Sejarah Keterlibatan Guru dalam Riset
Apa yang dimaksud dengan Sekolah Berbasis Riset (SBR)? Istilah ini barangkali baru di Indonesia, tetapi di beberapa negara maju, istilah ini sudah diperkenalkan sejak tahun 1980an-1990an. Pada intinya, konsep ini memiliki sebuah target tersembunyi yaitu membangun semangat dan budaya meneliti di kalangan guru.
Konsep SBR bermula dari dua komponen utama yaitu, guru dan kegiatan riset. Ide untuk melibatkan guru dalam kegiatan penelitian pendidikan dan dalam pengembangan kurikulum telah dikampanyekan oleh beberapa pakar pendidikan, misalnya Lawrence Stenhouse pada tahun 1960-1970an, yang merupakan pakar pendidikan Inggris, Jean Rudduck pada tahun 1980an, dan Donald McIntyre pada era 1990an (keduanya dari Cambridge)
Konsep penelitian di kalangan guru sebagaimana yang disampaikan oleh Stenhouse, telah dimulai lebih awal lagi di Jepang. Istilah Jugyou Kenkyuu atau yang secara universal dikenal sebagai Lesson Study telah berlangsung pada awal era Meiji tahun 1900-an. Pada tahun-tahun tersebut, banyak educational board di Jepang yang telah menyelenggarakan Seminar tentang Lesson Study, yang pada waktu itu disebut sebagai Jugyou hihyo kai (Pertemuan untuk Criticism Lesson). Sebelum model jugyou kenkyuu (lesson study), istilah jugyou hihyo (criticism lesson) telah lebih dulu diperkenalkan pada tahun 1890-an. Jika ditelusuri lebih jauh, model pengajaran yang dikembangkan secara terus-menerus melalui riset bermula dari ide Pestalozzi (1800an) tentang pengajaran ilmu berhitung di SD, yang dikenal sebagai “object lesson”. Teori dan konsep Pestalozzi dipakai di Jepang pada era 1872, yang selanjutnya semua sekolah guru di Jepang pada masa itu mewajibkan untuk mengadopsi “object lesson”. Selanjutnya, sebagai bentuk penerapan dan pengembangan object lesson, diperkenalkan criticism lesson dan model lesson melalui buku panduan yang dikarang oleh Edward Sheldon (1871), seorang kepala sekolah di New York State Normal School (sekolah guru).  Buku ini juga dipakai di sekolah guru di Jepang. Criticism lesson dan model lesson adalah cikal bakal lesson study. Criticism lesson mirip dengan micro teaching, sementara model lesson adalah kelas yang dibimbing oleh guru professional, dan para peserta diminta memberikan catatan tentang model pengajaran. Sheldon mengemukakan empat hal penting yang harus dikritik dalam pengajaran yaitu, materi, metode, guru dan siswa. Poin kritikan terhadap guru misalnya, class management, cara berdiri, bahasa yang dipergunakan, dll, yang kesemuanya menjadi konsep-konsep yang melahirkan jugyou kenkyuu atau lesson study yang sekarang ini kita kenal. Sekolah Guru di Tokyo pada tahun 1883 mengawali konsep jugyou kenkyuu, yaitu guru mengobservasi kelas guru yang lain, dan sejak saat itu menyebar ke semua sekolah di Jepang, dan pada tahun 1960-an ditetapkan sebagai strategi wajib dalam in-service training untuk guru di Jepang. Saat ini, jugyou kenkyuu telah menjadi tradisi di sekolah-sekolah di Jepang.
Dengan demikian pelibatan guru dalam riset pendidikan di sekolah bukanlah barang baru di beberapa negara. Tetapi, dari gambaran sejarah di atas, kita dapat memahami bahwa menjadikan penelitian/riset sebagai sebuah tradisi atau budaya di sekolah memakan waktu yang cukup lama.
C.2. Definisi dan Cakupan Sekolah Berbasis Riset
Sekolah Berbasis Riset (SBR) adalah konsep pengembangan sekolah yang didasarkan pada hasil riset, baik yang dikembangkan oleh sekolah ataupun oleh lembaga di luar sekolah, misalnya perguruan tinggi. Konsep pengembangan sekolah berdasarkan hasil riset sebenarnya telah ditampilkan oleh John Dewey, seorang filsuf pendidikan Amerika ketika dia membuat SD laboratorium di Universitas Chicago, pada tahun 1894 yang dikenal sebagai Dewey School yang merupakan wadah baginya untuk mengembangkan dan menguji ide dan konsep pendidikannya. Konsep ini banyak diaplikasikan dalam sekolah-sekolah afiliasi perguruan tinggi.
Istilah Sekolah Berbasis Riset harus dibedakan dengan Sekolah Riset (SR).  Dalam konsep SR, siswa menjadi motor utama penelitian yang bertemakan keilmuan sesuai dengan mata pelajaran yang diperolehnya. Salah satu sekolah yang telah menobatkan diri sebagai sekolah riset adalah SMA 6 Yogyakarta. Gelar sebagai sekolah riset terbukti dengan banyaknya hasil penelitian siswa yang diikutkan dalam kompetisi. Dari hasil wawancara yang penulis lakukan beberapa waktu yang lalu, keanggotaan KIR (Kelompok Ilmiah Remaja) di SMA 6 Yogyakarta melibatkan kurang lebih 125-150 orang siswa. KIR menjadi salah satu eskul terbesar di sekolah tsb.
Adapun konsep SBR menempatkan guru dan pejabat sekolah sebagai motor utama penelitian. Tema-tema riset yang dikembangkan dalam SBR adalah hal-hal yang menyangkut permasalahan sekolah, perbaikan pelayanan belajar mengajar, pengembangan kebijakan baru, upaya peningkatan motivasi belajar, mengembangkan pendidikan yang egaliter, dll.
Baik konsep SBR maupun SR, kedua-duanya memiliki ruh yang sama, yaitu membudayakan penelitian di lingkungan sekolah. Oleh karena itu, dalam penyelenggaraannya, keduanya dapat berjalan secara seiring, selaras dan saling menunjang.
Apabila konsep Sekolah Riset terbatas dan ideal dikembangkan pada jenjang pendidikan menengah, karena skill meneliti dan metode penelitian umumnya diajarkan di level SMA, maka konsep Sekolah Berbasis Riset dapat diterapkan di semua jenjang pendidikan. Karena SBR merupakan konsep pengembangan sekolah, maka SBR dapat menjadi payung kegiatan penelitian di sekolah, dan SR menjadi salah satu komponennya.
C.3. Penerapan Sekolah Berbasis Riset
Pengembangan Sekolah Berbasis Riset harus diselenggarakan sebagai kegiatan yang komprehensif dan didukung oleh semua sivitas sekolah termasuk wali murid dan tokoh masyarakat sekitar. Untuk dapat menerapkan konsep SBR, guru dan siswa sebagai motor utama harus dipersiapkan sebagai peneliti, yaitu dengan kemampuan dan bekal ilmu dasar untuk melakukan penelitian. Beberapa langkah alternatif untuk mengawali penerapan konsep SBR adalah sbb :
1)             Sosialisasi Kegiatan kepada guru. Karena beban mengajar guru sudah cukup memberatkan, maka upaya mengajak guru untuk melakukan penelitian bukan pekerjaan yang mudah. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan kepala sekolah untuk memberikan space dan time kepada guru agar dapat melangsungkan riset. Kemampuan dasar meneliti guru lulusan S1 sebenarnya sudah memadai secara teori, namun jam terbang penelitiannya belum dapat dihitung, sebab boleh jadi penelitian pertama dan terakhir yang dilakukannya adalah ketika menulis skripsi sebagai syarat kelulusan. Oleh sebab itu, program sosialisasi sekaligus sebagai upaya untuk men-charge ulang para guru dalam bidang penelitian melalui kegiatan seminar, kajian, training penelitian atau studi banding.
2)             Penunjukkan Penanggung Jawab/Koordinator. Pada tahap awal, kepala sekolah dapat menunjuk seorang Penanggung Jawab/Koordinator Pengembangan Penelitian (R & D Sekolah) yang dipilih dari kalangan guru, dengan kriteria utama, calon harus memiliki keinginan, kecintaan, dan komitmen mengembangkan sekolah melalui riset. Dalam tahap lanjutan, dengan otonomi sekolah, Kepala Sekolah dapat menjadikan PJ bersangkutan sebagai Wakil Kepala Sekolah Bidang Pengembangan Penelitian Sekolah, setelah kegiatan riset sudah mulai menampakkan hasilnya.
3)             Pembentukan Tim R & D. Koordinator yang telah ditunjuk di nomor 2, dengan arahan dari kepala sekolah dapat mulai menyusun Tim R & D Sekolah, yang diseleksi dari kalangan guru. Perwakilan siswa dapat dimasukkan dalam tim.
4)             Pemetaan Permasalahan. Upaya memetakan potensi dan kelemahan/kekurangan sekolah dapat dilakukan dengan riset kecil oleh Tim, atau meminta partisipasi guru, siswa dan orang tua melalui metode survey. Hasil pemetaan permasalahan yang ingin diselesaikan kemudian diurutkan berdasarkan skala prioritas, dan diumumkan kepada guru, siswa dan orang tua melalui pemberitahuan tertulis (surat, bulletin, atau mading).
5)             Penyusunan Rencana Riset Unggulan Sekolah. Dari hasil kegiatan nomor 4, Tim menyusun Rencana/Proposal Riset Unggulan Sekolah yang dilakukan dalam jangka waktu tertentu (setahun, dua atau tiga tahun).
6)             Pelaksanaan Kegiatan Riset Sekolah. Untuk melaksanakan kegiatan riset, Tim R & D Sekolah dapat memecah riset unggulan menjadi beberapa riset kecil yang akan dikerjakan oleh tim khusus dari kalangan guru dan siswa. Sedapat mungkin kegiatan riset tidak dikerjakan sendiri oleh Tim R & D, kecuali pada tahap awal saja, atau jika terjadi kebuntuan menggerakkan guru.
7)             Penyampaian Hasil Riset. Hasil riset disampaikan secara tertulis dan lisan kepada semua sivitas sekolah, dan follow up kegiatan berdasarkan hasil riset dirumuskan, dan selanjutnya ditetapkan sebagai kebijakan sekolah oleh kepala sekolah.
8)             Pengembangan Riset Berkelanjutan. Setelah hasil riset diterapkan selama beberapa waktu, penerapannya perlu dievaluasi, dan selanjutnya dikembangkan menjadi riset baru lagi. Secara bergiliran dan perlahan, guru-guru, siswa, dan barangkali wali murid dilibatkan dalam kegiatan riset berkelanjutan di sekolah.
9)             Penyebaran Informasi Hasil Pengembangan SBR. Informasi tentang keberhasilan program pengembangan SBR perlu disebarluaskan kepada pihak luar. Oleh karena itu, Tim R & D dapat mendata forum-forum ilmiah, dan memilih salah satu yang cocok untuk mempresentasikan hasil riset sekolah, dan atau membuat laporan tertulis yang akan dipublikasikan di Jurnal Ilmiah atau media cetak lainnya. Publikasi juga dapat dilakukan dalam bentuk buku cetak.
Untuk membudayakan jiwa meneliti atau melatih kemampuan problem solving siswa, program penelitian ilmiah siswa dapat dimasukkan dalam kerangka SBR. Apa yang sudah diterapkan selama ini melalui program KIR dapat lebih diintensifkan dengan mengajak siswa untuk peka terhadap permasalahan yang ada di sekitarnya, dan mampu memecahkan masalah tersebut dengan pendekatan ilmiah melalui riset.
Kegiatan riset di sekolah, baik yang dilakukan oleh guru maupun siswa harus mengedepankan kerjasama. Melalui riset kerjasama, guru dan siswa akan dapat belajar banyak nilai-nilai keterbukaan dan mengembangkan kemampuan verbal yang dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari, baik di sekolah maupun di lingkungan luar sekolah.
D. KEMITRAAN DAN PENGEMBANGAN SEKOLAH BERBASIS RISET
D.1. Urgensi Kemitraan
Salah satu faktor penentu keberhasilan pengembangan sekolah adalah kerjasama atau kemitraan yang dibangun atas dasar saling membutuhkan dan rasa percaya, antara pihak sekolah dengan luar sekolah. Kerjasama juga menjadi bukti keberhasilan pendidikan di negara maju. Sebagai contoh, apa yang berlangsung dalam perkembangan pendidikan tinggi di New Zealand. Tatkala populasi penduduk negara maju mengalami stagnansi, institusi perguruan tinggi mengalami permasalahan menurunnya calon mahasiswa. Oleh karena itu, beberapa perguruan tinggi di negara maju mengembangkan sayap dengan membuka program-program double degree di beberapa negara berkembang yang notabene masih aktif pertumbuhan penduduknya. Beberapa universitas di Inggris telah membuka cabang di Malaysia dan Singapura. Demikian pula perguruan tinggi di Australia, mengembangkan hal yang sama ke Cina dan Indonesia. Namun, apa yang dilakukan oleh PM New Zealand pada era 2000an cukup unik. Kebijakan koorporasi antarperguruan tinggi dalam negeri, dan perhatiannya pada pendidikan tinggi untuk suku Mori, menyebabkan perguruan tinggi di NZ tidak perlu melebarkan sayap ke luar untuk mencari mahasiswa. Sistem kerjasama yang lebih diutamakan daripada sistem kompetisi telah menghasilkan perkembangan pendidikan tinggi yang khas di NZ.
Meniru apa yang dilakukan di NZ, kita dapat mengambil pelajaran bahwa kemitraan tidak saja harus dibangun dengan pihak luar, tetapi budaya bekerjasama harus mulai diaktifkan dalam lingkungan sekolah itu sendiri. Kepala sekolah sebagai nakhoda sekolah perlu mengembangkan kegiatan yang melibatkan banyak guru. Budaya dan tradisi akan lahir dengan seringnya dan terbiasanya pelaku melakukan kegiatan tersebut. Oleh karena itu, pengembangan sekolah juga perlu diselenggarakan dengan prinsip kerjasama.
Program SBR sebenarnya dapat berlangsung tanpa melibatkan pihak luar, dengan asumsi, sivitas sekolah telah siap bahu-membahu dalam pengembangannya. Dari hasil pengamatan penulis, SMA 6 Yogyakarta telah membuktikan bahwa tanpa keterlibatan pihak luar, mereka dapat mengembangkan budaya meneliti di kalangan siswa dengan cukup baik, melalui keberadaan seorang guru yang menjadi motor penggerak kegiatan, dan keberhasilan kepala sekolah menggerakkan guru-guru lainnya untuk bekerjasama dalam penyelenggaraan sekolah riset di sana.
Namun, pada kenyataannya budaya dan perilaku berorganisasi sekolah-sekolah di Indonesia umumnya masih tradisional, dengan menempatkan kekuasaan terbesar di tangan kepala sekolah. Apabila kepala sekolah bukan orang yang menginginkan perbaikan atau anti kemapanan, maka kemampuan personal guru sulit teramati, dan kegiatan pengembangan sekolah akan menjadi monopoli dan dominasi kepsek dan wakasek.  Jika hal ini yang berlangsung, maka pengembangan sekolah akan kembali pada pola birokrasi atau kebijakan top down.
Fakta pimpinan lembaga yang mendominasi kekuasaan telah diangkat oleh Chris Argyris sebagai salah satu penyebab kegagalan kemajuan perusahaan dalam bukunya Teaching Smart People How To Learn yang diterbitkan oleh Harvard Business Review, 1991. Argyris dikenal sebagai tokoh Organizational Learning Behaviour yang menekankan perlunya semua komponen dalam sebuah organsisasi untuk belajar memahami satu sama lain. Menurut Argyris, pimpinan organisasi harus berani mengkritik dan rela dikritik. Dan sikap ini harus dibudayakan pula kepada para bawahan. Tetapi dalam tulisan tsb, Argyris mengemukakan bahwa banyak pimpinan yang tidak menyadari kelemahannya, dan baru mengetahuinya setelah dikritik oleh pihak ketiga (di luar organisasinya). Apa yang dikemukan Argyris tsb, diamini oleh pakar pendidikan di Jerman dan Jepang, yang kemudian mengkampanyekan perlunya konsultan sekolah (pihak ketiga) untuk lebih jernih menemukan permasalahan sekolah.
Fakta lain, banyak guru yang belum memiliki jiwa  “agent of change”, sehingga menyulitkan sekolah untuk melakukan pengembangan SBR. Jiwa sebagai agen perubahan tentunya bukan bawaan genetik, tetapi perilaku dan sikap yang dapat dilatih dan dikembangkan, baik melalui teacher training atau selama perkuliahan di perguruan tinggi.
Dalam kondisi seperti  di atas, pihak sekolah perlu mulai membangun kemitraan dengan pihak luar, terutama perguruan tinggi, terutama dalam menginisiasi dan menerapkan konsep SBR.  Perguruan tinggi yang telah membuktikan diri sebagai lembaga riset, perlu diajak bergandeng tangan untuk membantu guru dalam mengembangkan aktivitas riset di sekolah. Keterlibatan Perguruan Tinggi dan Lembaga Keguruan dalam konsep SBR dapat mulai dilakukan sejak tahap pemetaan awal permasalahan di sekolah (lihat langkah di atas). Bentuk kerjasama ini perlu dikembangkan menjadi kerjasama yang bersifat simbiosis mutualisme, artinya sekolah mendapatkan informasi dan pelatihan meneliti, dan perguruan tinggi di lain pihak dapat mensinergikan tema penelitian sekolah dengan kegiatan penelitian dosen. Dosen-dosen di perguruan tinggi dapat menerapkan hasil penelitiannya di sekolah sebagai wujud pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi.
D.2. Perhimpunan Guru dan Pengembangan Sekolah Berbasis Riset
Guru-guru di Indonesia telah berhimpun dan menyatukan pandangan dalam sebuah Persatuan Guru Hindia Belanda pada tahun 1912. Embrio ini kemudian berkembang hingga menjadi Persatuan Guru Republik Indonesia pada tahun 1945. Sejarahnya yang panjang menandakan bahwa sejak dahulu, guru-guru telah memiliki sebuah komitmen terhadap pendidikan nasional di tanah air.
Perhimpunan guru hampir ada di semua negara, dengan corak kegiatan dan aktivitas yang beragam. Demikian pula di Jepang, Teacher Union Japan atau Nikkyouso berdiri pada tahun 1912 dan senantiasa bersuara keras dalam menyampaikan prinsip pendidikan yang berorientasi kesiswaan dan pendidikan yang demokratis, tetapi tetap mempertahankan tradisi ke-Jepangan. Banyak kebijakan pemerintah yang gagal diterbitkan karena tentangan keras dari Nikkyouso. Pada tahun 1989, terjadi perbedaan prinsip organisasi yang terkait dengan masalah politik, dan akhirnya perpecahan tidak dapat dihindarkan. Namun, suara-suara guru, baik dalam Nikkyousou maupun Zenkyou yang menjadi pecahannya, tetap sama, memperjuangkan pendidikan yang memperhatikan hak dan minat belajar anak.
Perhimpunan guru di manapun itu, adalah wadah dan ruang bagi para guru untuk mengembangkan diri. Berdasarkan penelitian penulis selama berada di Jepang (6,5 tahun), guru-guru yang terlibat dalam organisasi Nikkyousou dan Zenkyou adalah guru-guru yang juga sering terlibat dalam forum-forum ilmiah, dan menjadi motor penggerak di sekolah masing-masing.
Perhimpunan guru juga menyiapkan forum ilmiah guru yang diselenggarakan di setiap prefektur, dan menjadi ajang guru menyebarkan informasi penelitian dan pengembangan yang dilakukan di sekolah masing-masing.  Dalam uraian yang akan disampaikan di bawah, terlihat bahwa peranan perhimpunan guru di Jepang terhadap pegembangan sekolah sangat signifikan. Selain menjadi tempat belajar para guru, juga menjadi penyambung lidah komunikasi kemajuan sekolah antarguru se-Jepang.
Dalam program pengembangan SBR di Jawa Tengah, PGRI Jawa Tengah sebagai wadah berhimpunnya para guru di Jawa Tengah, dapat menginisiasi forum-forum ilmiah, baik dalam bentuk seminar, juga dalam bentuk publikasi ilmiah, yang dapat menjadi penyambung lidah kemajuan dan inovasi pendidikan yang dilakukan oleh para guru.
D.3. Contoh Kasus Pengembangan SBR melalui Pola Kemitraan Sekolah, Teacher Union dan Perguruan Tinggi di Jepang
Pada tahun 2005 dan 2006 penulis berkesempatan melakukan kegiatan penelitian di Wakkanai dan Souya, Hokkaido, yang berada di sebelah utara Jepang tentang manajemen pendidikan daerah. Kesempatan penelitian yang sama juga datang pada tahun 2007 dan 2008, ketika penulis aktif menghadiri Pertemuan Guru se-Nagano, wilayah tengah Jepang. Dan pada tahun 2009 hingga 2010, penulis terlibat dalam program Konsultasi Sekolah yang diselenggarakan oleh Kota Takahama bekerjasama dengan Fak. Pendidikan Universitas Nagoya dan Universitas Meiji Nagoya.
Di Souya dan Wakkanai, penelitian dilakukan terhadap beberapa SD dan SMP (negeri), dan interview dilakukan kepada kepala sekolah, guru, staf Dinas Pendidikan setempat, serta anggota dan pengurus Teacher Union. Adapun penelitian di Nagano, lebih difokuskan pada SMA dan kegiatan penelitian guru.
Souya dan Wakkanai memiliki kekhasan pendidikan, yaitu banyak kebijakan pendidikan daerah yang ditetapkan secara otonomi (tidak tergantung kebijakan pusat), sehingga model pendidikan yang dikembangkan adalah model berbasis potensi dan keunggulan lokal. Kedua distrik juga terkenal dengan guru-guru militannya yang tergabung dalam Teacher Union Jepang (Nikkyousou dan Zenkyou).  Atas prakarsa para guru, pada tahun 1950-an, di Souya telah dibentuk Pusat Penelitian Pendidikan (Kyouikukenkyuusho) yang dikelola oleh guru-guru yang tergabung dalam Teacher Union. Lama-kelamaan, pusat penelitian pendidikan berdiri di banyak kota dan desa, dan mereka senantiasa terhubung melalui pertemuan rutin tahunan.
Pendidikan di Souya dan Wakkanai semula berkembang dari komitmen para guru-guru di sana, lalu sekitar 20 tahun yang lalu, Prof. Takeo Ueda memulai kegiatan field trip mahasiswa Fak. Pendidikan Universitas Nagoya Jepang, di Souya. Sejak saat itu, interaksi para guru dan sekolah-sekolah di Souya dengan lembaga pendidikan tinggi, terutama Nagoya Univ, menjadi semakin erat dan berkembang.  Salah satu bentuk kerjasama tersebut adalah, kesempatan mahasiswa dan dosen Nagoya university untuk melakukan penelitian dan magang di Souya (sekolah dan dinas pendidikan), dan guru-guru di Souya diundang secara rutin untuk memberikan perkuliahan di Nagoya University.
Konsep pendidikan yang dikembangkan di Souya dan Wakkanai adalah konsep yang berorientasi pada perkembangan fisik, kejiwaan dan kemampuan akademik satu per satu siswa, yang berlandaskan pada pengetahuan siswa tentang daerahnya. Oleh karena itu, materi pendidikan IPS lebih ditekankan pada pemahaman tentang potensi daerah dan masyarakat di Souya dan Wakkanai. Kegiatan mulok di SMP Souya adalah kegiatan perikanan (budidaya hingga pengolahan) dan kelautan, karena Souya adalah daerah yang merupakan penghasil komoditi laut utama di Jepang. Keterlibatan masyarakat sebagai penyedia lahan dan bahan belajar bagi siswa sangat besar, sehingga perahu-perahu nelayan, tempat pengolahan, dan lahan-lahan perkebunan kentang dan jagung, disediakan secara sukarela.
Guru-guru di Souya juga terkenal dengan inovasi pendidikan yang mereka uji cobakan di sekolah-sekolah di Souya. Misalnya, ruang kelas tanpa dinding (open classroom) untuk mengasah konsentrasi belajar siswa. Karena mengutamakan perkembangan siswa satu per satu, maka evaluasi berkelanjutan tentang perkembangan fisik, kesehatan dan kebiasaan siswa dilaksanakan secara rutin. Salah satu contohnya, sekolah dapat memetakan kebiasaan belajar dan bersantai siswa, mengembangkan program membaca melalui survey bacaan siswa, dll. Prinsip belajar yang menyenangkan dan tidak tertekan, belajar dan berkembang sesuai dengan peminatan siswa, menjadi acuan utama pengembangan sekolah-sekolah di Souya dan Wakkanai.
Dalam pertemuan ilmiah guru-guru di Jepang yang diselenggarakan oleh Teacher Union, kadang-kadang penulis bertemu dengan para guru dari sekolah-sekolah di Souya yang ikut mempresentasikan hasil penelitian pendidikan di sekolah mereka. Konsep pendidikan di Souya lama-kelamaan tersebar luas, dan menjadi pendorong pengembangan sekolah-sekolah di daerah lain di Jepang.
Pendidikan di Nagano juga memiliki kekhasan yang dikenal sejak dulu. Nagano dikenal sebagai daerah yang mempertahankan sekolah-sekolah bersejarah sejak jaman Meiji (1800an), dan mengembangkan pendidikan khas Nagano, serta terkadang menentang kebijakan pemerintah pusat, misalnya dalam penerapan ujian nasional.
SMA yang penulis teliti di Nagano adalah SMA Tatsuno. Sekolah ini semula adalah sekolah yang memiliki reputasi buruk dengan banyaknya kasus kriminal yang dilakukan siswa. Perubahan besar terjadi ketika kepala sekolah, Miyashita Yoohe menjabat, dan berusaha mengadakan pendekatan dari hati ke hati dengan semua siswa-siswanya. Keberhasilan pertama dari upaya yang dilakukannya adalah terselenggaranya flea market yang melibatkan siswa-siswa SMA dan masyarakat setempat. Peristiwa itu menjadi interaksi pertama siswa dan masyarakat, dan yang selanjutnya melahirkan rasa bangga di dalam dada para siswa, setelah mereka mendapatkan pujian yang tulus dari warga setempat, bahwa mereka tidak seperti yang orang-orang setempat bayangkan. Dari keberhasilan tersebut, OSIS SMA Tatsuno kemudian mengembangkan program-program yang lebih mengakomodir keinginan siswa dan juga masyarakat. Salah satunya adalah program pemungutan sampah yang berlangsung setiap hari dari stasiun terdekat ke sekolah mereka. Para siswa juga membuat tempat sampah sepanjang jalan tersebut.
Kegiatan utama siswa-siswa SMA Tatsuno yang menjadi bahan pembicaraan di seantero negeri adalah keberhasilannya menyelenggarakan Forum Sekolah (Gakkou Fouramu) yang menghadirkan orang tua, guru, masyarakat, dan pejabat pemerintah. Gubernur Nagano pernah menghadiri acara ini dan terlibat diskusi yang intens tentang kebijakan pendidikan di Nagano. Forum Sekolah SMA Tatsuno diselenggarakan untuk menampung masukan pengembangan SMA Tatsuno dan pengembangan pendidikan di Nagano. Kegiatan ini menjadi prototype dan telah dikembangkan di SMA-SMA di beberapa kota di Jepang. Bapak kepala sekolah juga mengundang dosen-dosen dari Universitas Tokyo dan Universitas Shinsyuu, dan Universitas Nagoya untuk menjadi penasehat dalam pengembangan sekolah.  Nara sumber dari ketiga universitas ini selalu hadir dalam pertemuan tahunan guru-guru di Nagano.
Apa yang menjadi inti kegiatan siswa-siswa SMA adalah keberhasilan mereka mengembangkan komunikasi dengan masyarakatnya. Dari hasil komunikasi tersebut, mereka mampu mengubah diri untuk menjadi lebih bermanfaat bagi masyarakatnya kelak, dan pihak sekolah bersama-sama dengan siswa merumuskan dan mengembangkan kegiatan-kegiatan yang merupakan pengabdian masyarakat, sekaligus menjadi wahana belajar siswa. Salah satu program yang dikembangkan adalah penelitian tentang satwa yang hampir punah di Nagano, ekosistem sungai dan pengembangan ikan Ayu, yang menjadi komoditas utama Nagano.
Apa yang dilakukan oleh siswa-siswa SMA Tatsuno, dan juga keberhasilan guru-guru di SD, SMP, dan SMA lainnya di Nagano senantiasa dilaporkan dalam sebuah forum pertemuan tahunan yang disebut Nagano Kyouikukenkyuukai (Pertemuan Tahunan Penelitian Pendidikan Nagano), yang diselenggarakan oleh Teacher Union dan Dinas Pendidikan setempat.
Kasus ketiga adalah program konsultasi pengembangan sekolah yang berlangsung di Kota Takahama, Aichi. Program ini didanai oleh Dinas Pendidikan Kota Takahama, dan melibatkan dua dosen peneliti utama, yaitu satu orang dari Universitas Nagoya (negeri) dan satu orang dari Universitas Meiji (swasta). Tim dari Universitas Nagoya dipimpin oleh Prof. Nambu Hatsuyo, dan penulis yang ketika itu berstatus mahasiswa doktor, menjadi salah satu anggota tim. Tugas utama kami adalah memberikan bimbingan dan membantu para pejabat sekolah dan para guru menemukan permasalahan. Pihak Dinas Pendidikan berdasarkan hasil survey kemampuan siswa melaporkan bahwa prestasi anak-anak di Kota Takahama cukup rendah, sehingga konsultan diharapkan dapat menemukan di mana letak permasalahannya, dan sekaligus membantu para guru mengembangkan sistem evaluasi mandiri.
Dalam proses awalnya, banyak pejabat sekolah yang enggan berterus terang, dan menganggap konsultan dari universitas sebagai pengawas pemerintah. Laporan dan jawaban yang mereka sampaikan dalam wawancara awal selalu hal-hal yang baik saja, sehingga menyulitkan dalam pemetaan masalah. Akhirnya dengan penjelasan yang cukup, pada kunjungan ketiga, mulai terlihat keterbukaan. Kota Takahama membuat sebuah SD percontohan, dan berharap sekolah-sekolah lain mengacu pada pola yang ada di SD Tsubasa, nama SD percontohan tersebut. Namun, berdasarkan hasil observasi, setiap sekolah mempunyai kekhasan dan potensi tersendiri, sehingga dalam pengembangannya tidak bisa dilakukan penyeragaman.
Apa yang dilakukan di Takahama, telah dipresentasikan dalam sebuah seminar Pendidikan di Kota Takahama pada tahun 2010, yang mendapatkan respon yang sangat besar (300 peserta hadir), dari kalangan guru, orangtua, masyarakat, peneliti pendidikan, dan pejabat daerah. Hasil konsultasi juga telah diangkat sebagai tema penelitian dan telah dipresentasikan dalam Forum Asosiasi Manajemen Pendidikan Jepang, dan diterbitkan dalam jurnal asosiasi tersebut.
E. PENUTUP
Pengembangan Sekolah Berbasis Riset merupakan konsep yang terbukti menjadi solusi permasalahan pendidikan di beberapa negara maju. Penerapannya diawali dengan kegiatan-kegiatan riset sederhana yang dilakukan oleh guru, dengan tema-tema yang juga sederhana, tetapi berorientasi pada perbaikan pelayanan pendidikan di sekolah. Kegiatan penelitian guru di Indonesia yang sudah dimulai dengan Penelitian Tindakan Kelas adalah modal dasar yang sangat dibutuhkan dalam pengembangan sekolah berbasis riset. Melalui PTK, guru terbiasa dengan kegiatan dan pemecahan masalah belajar mengajar dengan pendekatan riset. Namun, PTK tidak cukup sebagai dasar mengembangkan sekolah karena skalanya yang kecil. Perlu dikembangkan sebuah riset berkelanjutan yang merupakan langkah pemecahan permasalahan pendidikan di sekolah.
Pengembangan SBR perlu ditindaklanjuti dengan melibatkan perguruan tinggi sebagai mitra penelitian, PGRI sebagai mitra tukar informasi dan forum ilmiah guru, dan Dinas P dan K sebagai penyokong legalitas dan pendanaan. Kegiatan SBR hanya akan berlangsung dengan baik, apabila semua pihak memiliki komitmen dan cara pandang yang sama tentang proses mendidik dan apa tujuan pendidikan yang hakiki.

No comments:

Post a Comment